Fanatisme Sempit
Mengapa orang tidak bisa menerima dan menghargai
perbedaan? Salah satu sebabnya adalah sempitnya ilmu dan pengetahuan. Sehingga
seseorang melihat lalu menghakimi orang lain berdasarkan keterbatasan ilmu yang
dimilikinya. Selain sempitnya ilmu dan wawasan, yang paling berbahaya -dan
menjadi sebab utama orang tidak menghargai serta menerima perbedaan- adalah
kuatnya sikap fanatisme.
Fanatisme adalah satu keyakinan merasa diri atau
pendapatnya paling benar, sehingga ketika melihat orang lain tidak sesuai
dengan pendapatnya, ia akan menganggapnya sebagai orang yang salah dan keliru.
Sebenarnya menganggap orang lain salah dan keliru bukanlah hal yang terlalu
buruk, selama kita tidak menganggap orang yang salah dan keliru itu sebagai
musuh. Celakanya, orang fanatik biasanya akan menganggap orang yang salah atau
keliru sebagai musuh yang halal darahnya dan tidak lagi dianggap sebagai
manusia yang memiliki hak asasi.
Saya masih ingat ketika dalam sebuah kesempatan pengajian
harian, guru di pesantren mengajarkan bahwa orang yang tidak wudlu tidak boleh
menyentuh Al-Qur’an. Alasannya, firman Allah, “Al-Qur’an tidak disentuh kecuali oleh orang-orang suci“.
Ketika kemudian mendiskusikannya bersama teman-teman di kobong (kamar santri di
asrama), ternyata seorang teman tidak sependapat. Katanya, orang-orang suci
dalam ayat itu artinya umat Islam. Jadi, orang Islam baik memiliki wudlu atau
tidak boleh menyentuhnya. Kata teman yang lain lagi, maksud orang-orang suci
itu adalah para malaikat, karena hanya malaikat yang suci dari dosa. Semakin
lama berdiskusi semakin banyak pendapat yang mengemuka, tentu saja
masing-masing yang mengemukakan pendapatnya menyertakan argumentasi berdasarkan
ulumul quran, ulumul hadist, ilmu alat dan sebagainya.
Pada suatu kesempatan Rasulullah pernah menyatakan bahwa
Islam akan hancur karena umara
(penguasa) dan fuqaha
(ahli fiqh) yang kurang ilmu dan tidak bijak. Lalu apakah orang
berilmu dan berwawasan luas serta merta bisa menerima dan menghargai perbedaan?
Belum tentu juga. Mungkin kita pernah bertemu sejumlah kyai atau dosen yang
tidak suka bahkan boleh jadi sangat benci jika ada santri atau mahasiswanya
berani mempertanyakan, mendebat dan membantah pendapatnya. Padahal semua orang
tahu mereka memiliki segudang ilmu.
Ketidaksiapan menerima pendapat yang berbeda dari orang
lain biasanya berasal dari fanatisme sempit. Bila diselidiki lebih lanjut,
fanatisme itu sendiri muncul dari sifat egosentris yang berlebihan, dalam
istilah akhlak dinamakan sebagai sifat ananiyah.
Pada akhirnya, sifat ini hanya akan mengarahkan kita pada keangkuhan yang
membawa bencana -jangan lupa bahwa Allah mengutuk siapa saja yang berjalan di
muka bumi ini dengan penuh keangkuhan-.
Orang yang awam tapi tidak memiliki sifat fanatik, masih
mungkin untuk menerima perbedaan. Lain halnya dengan orang fanatik, sekalipun
ia berilmu. Bagi siapapun yang berbeda pendapat dengannya, tidak
tanggung-tanggung label yang meluncur keluar dari mulutnya : ingkar sunnah, bid’ah, sesat, kafir, musyrik, dan sebagainya.
Orang buta dan Gajah
Barangkali pembaca masih ingat kisah 3 orang buta dengan
seekor gajah. Konon, salah seorang dari mereka mengajak yang lain untuk
mengenali bentuk gajah. Orang buta pertama maju dan memegang kaki gajah. Dia
bilang, “gajah itu bulat dan
keras seperti batang pohon”. Orang kedua maju dan memegang
belalainya. Dia sampaikan, “gajah
itu bulat dan panjang seperti ular”. Lalu, orang ketiga maju dan
memegang kupingnya. Ia berteriak, “gajah
itu tipis seperti kipas!”
Tentu saja, bagi orang kebanyakan ketiga pandangan mereka
itu ‘keliru’ (sebenarnya lebih tepat bila disebut tidak lengkap). Hanya saja,
haruskah mereka disalahkan? Kita hanya harus memaklumi karena sebatas itulah
kemampuan mereka untuk melakukan exposure
(persentuhan atau perkenalan). Jika saja mereka bisa melihat, tentu
pendapat mereka tidak seperti itu. Akan tetapi, bayangkan bila 3 orang buta itu
kemudian duduk bersama dan mendiskusikan temuan masing-masing dalam suasana
keterbukaan. Saya yakin akhirnya mereka sanggup mendeskripsikan bentuk gajah
secara tepat. Justeru dengan adanya perbedaaan persepsi, ilmu dan pengetahuan
akan terus berkembang.
Mencontoh Pasar dan Pedagang
Ironisnya, perbedaan justeru paling sering
dipermasalahkan di bait
Allah dan forum-forum agama. Sedemikian kerasnya resistensi
terhadap perbedaan, hingga samasekali mengabaikan nilai-nilai akhlaqulkarimah
yang sebenarnya merupakan ciri Islam.
Di Pakistan, pernah terjadi seorang jemaah yang
telunjuknya dipatahkan hanya karena Ketua Dewan Masjid meyakini bahwa
menggerakkan telunjuk diwaktu tasyahud itu bid’ah.
Bahkan pernah, orang yang berdoa di hadapan makam nabi di mesjid Nabawi
Madinah, babak belur dipukuli oleh ‘Asykar’ setempat. Bila bait Allah yang
notabene adalah suaka perlindungan semua umat tidak bisa menjamin keselamatan
seseorang yang kebetulan berbeda, lalu kemana lagi kita berpaling mencari
jawaban?
Konon, tempat yang paling bisa menerima perbedaan adalah
pasar, dan orangnya adalah pedagang. Di pasar, semua orang tumpah ruah. Jenis
kelamin, agama, organisasi, bangsa apapun bisa saling bertemu dan akrab. Para
pedagang juga tidak pernah memilah antara uang suku ini atau suku itu. Mereka
juga tidak pernah bertanya lebih dulu tentang identitas pembelinya. Kita tidak
pernah mendengar seorang pedagang berkata, “saya enggak terima uang dari
penyanyi dangdut!” (Mungkinkah ini sebabnya Allah membuka pintu rizqi paling
banyak di sektor perdagangan?). Dalam sebuah hadist dikabarkan bahwa Rasulullah
berkata, “Allah membuka 20
pintu rizqi dan 19 di antaranya dari perdagangan”.
Semua itu terjadi karena semua agent (pelaku) pasar
menempatkan tujuan yang lebih besar dalam skala prioritasnya, yaitu memperoleh
laba (pedagang) dan memperoleh barang yang dibutuhkan (pembeli). Hal-hal lain
di luar itu tidak dianggap sebagai sesuatu yang penting. Tidak pernah saya
menemukan pedagang dan pembeli berkelahi karena tidak sepakat dalam menentukan
harga. Bila harga memang tidak bisa cocok, berarti tidak ada transaksi dan
masing-masing akan berlalu dengan urusannya masing-masing.
Mengapa kita tidak bisa menerapkan cara yang sama di bait
Allah? Marilah kita mulai menempatkan kita pada tujuan yang lebih besar dalam
skala prioritas kita. Islam diturunkan kepada umat manusia dengan tujuan
menebarkan rahmat keselamatan dan kedamaian ke seluruh penjuru bumi. Ini
berarti, selain dari itu tidaklah penting artinya. Ketidaksukaan kita kepada
praktek-praktek ibadah tertentu tidak perlu memancing perdebatan “berdarah-darah”.
Perbedaan latar belakang seseorang tidak sepantasnya menghilangkan akses orang
itu terhadap bait Allah. Kenyataan yang terjadi, mesjid-mesjid seringkali
diberi label organisasi-organisasi atau mazhab-mazhab tertentu yang menghalangi
akses orang luar. Dalam kasus-kasus ekstrim, sepetak kecil lantai bekas shalat
orang luar itu sampai perlu dipel!
Orang memang mudah melupakan tujuan yang lebih besar dan
sibuk dengan hal-hal remeh. Tujuan mesjid didirikan jelas bukan untuk prestise,
tetapi dengan tujuan memakmurkannya. Ia menjadi makmur dengan ibadah yang
dilaksanakan di dalamnya. Mengapa perlu memberi label pada mesjid bila kita
Lillahi ta’ala memperuntukannya sebagai bait Allah? Bukankah arti kata wakaf
adalah terputus? Artinya, hak seseorang untuk mengklaim sesuatu sebagai
miliknya menjadi terputus ketika ia mewakafkan asetnya (tanah, bangunan, uang)
untuk Allah. Jadi, pantaskah bila menyebut satu mesjid sebagai mesjidnya anu,
atau masjid apa?
Mari kita mengingat kembali hadist Rasulullah, “Perbedaan di kalangan ummatku adalah
rahmat”. Tidak layak bukan, bila rahmat tidak disyukuri? Alih-alih,
kita malah menolaknya sambil berharap macam-macam perbedaan itu hilang.
Akhir kata, sebenarnya kita telah menemukan penyebab umat
Islam selalu menjadi umat yang terpuruk kondisinya. Ingat, Allah telah
wanti-wanti memperingatkan apa yang terjadi bila kita kufur terhadap
nikmat-nya. Wallahu a’lam.
Fanatic
dan toleran
Dalam hadis riwayat At-Tirmidzi diceritakan suatu ketika
Nabi Muhammad SAW bertemu dengan seorang musyrik yang bernama Hushein. Beliau
bertanya, ''Wahai Hushein, berapa tuhan yang Anda sembah sekarang?'' Hushein
pun menjawab, ''Tuhanku ada tujuh, yang enam berada di bumi dan yang satu
berada di langit.''
Mendengar jawaban orang musyrik yang demikian itu, Nabi Muhammad sebagai pembawa akidah tauhid, tidak marah dan tidak pula merasa tersinggung. Beliau cukup memaklumi, seorang musyrik bertuhan banyak. Kemudian beliau melanjutkan pertanyaannya, ''Kalau dalam keadaan genting, tuhan yang mana yang Anda panggil?'' Hushein menjawab, ''Yang di langit.''
Demikianlah, Rasulullah melanjutkan percakapan bersama Hushein dengan asyiknya. Tak ada amarah, apalagi sumpah serapah. Itulah salah satu contoh sikap toleran Nabi Muhammad memaklumi dan tidak pernah melecehkan keyakinan orang lain. Justru dengan dakwah dan sikap beliau yang seperti itulah pada akhirnya Hushein masuk Islam.
Maka, bila kita berada di tengah masyarakat yang heterogen dengan berbagai keyakinan dan kepercayaan agamanya, kita tidak perlu merasa tersinggung kalau ada orang berbeda pandangan dengan kita. Tidak usah tersinggung bila ada pihak yang berbeda keyakinan dengan kita. Rasulullah tidak melecehkan keyakinan mereka sebagaimana Beliau pun tak ingin jika akidahnya dilecehkan.
Suatu ketika beberapa orang musyrik mengajak Nabi Muhammad berkolaborasi. Aturannya, suatu saat mereka akan mengikuti kegiatan peribadatan Nabi Muhammad, namun di saat lainnya Nabi Muhammad harus datang ke tempat mereka untuk mengikuti peribadatan mereka. Beliau menolak mentah-mentah gagasan tersebut dengan mengatakan salah satu cuplikan Alquran surat Al-Kafirun, ''Lakum diinukum waliya diin, bagimu agamamu dan bagiku agamaku.''
Dalam urusan akidah, sama seperti Rasulullah, maka kita harus fanatik; meyakini dan membela agama yang dianutnya. Wajar-wajar saja kalau orang itu fanatik terhadap keyakinannya. Rasulullah SAW secara tersirat mengajarkan pada kita makna kerukunan beragama, bukan berarti mencampuradukkan ajaran aneka agama. Kerukunan antarumat beragama adalah setiap orang bisa hidup rukun bersama-sama dalam satu masyarakat. Namun, mereka tetap teguh pada keyakinan masing-masing dan menghormati keyakinan orang lain. Begitu semestinya tatanan dalam masyarakat yang heterogen
Mendengar jawaban orang musyrik yang demikian itu, Nabi Muhammad sebagai pembawa akidah tauhid, tidak marah dan tidak pula merasa tersinggung. Beliau cukup memaklumi, seorang musyrik bertuhan banyak. Kemudian beliau melanjutkan pertanyaannya, ''Kalau dalam keadaan genting, tuhan yang mana yang Anda panggil?'' Hushein menjawab, ''Yang di langit.''
Demikianlah, Rasulullah melanjutkan percakapan bersama Hushein dengan asyiknya. Tak ada amarah, apalagi sumpah serapah. Itulah salah satu contoh sikap toleran Nabi Muhammad memaklumi dan tidak pernah melecehkan keyakinan orang lain. Justru dengan dakwah dan sikap beliau yang seperti itulah pada akhirnya Hushein masuk Islam.
Maka, bila kita berada di tengah masyarakat yang heterogen dengan berbagai keyakinan dan kepercayaan agamanya, kita tidak perlu merasa tersinggung kalau ada orang berbeda pandangan dengan kita. Tidak usah tersinggung bila ada pihak yang berbeda keyakinan dengan kita. Rasulullah tidak melecehkan keyakinan mereka sebagaimana Beliau pun tak ingin jika akidahnya dilecehkan.
Suatu ketika beberapa orang musyrik mengajak Nabi Muhammad berkolaborasi. Aturannya, suatu saat mereka akan mengikuti kegiatan peribadatan Nabi Muhammad, namun di saat lainnya Nabi Muhammad harus datang ke tempat mereka untuk mengikuti peribadatan mereka. Beliau menolak mentah-mentah gagasan tersebut dengan mengatakan salah satu cuplikan Alquran surat Al-Kafirun, ''Lakum diinukum waliya diin, bagimu agamamu dan bagiku agamaku.''
Dalam urusan akidah, sama seperti Rasulullah, maka kita harus fanatik; meyakini dan membela agama yang dianutnya. Wajar-wajar saja kalau orang itu fanatik terhadap keyakinannya. Rasulullah SAW secara tersirat mengajarkan pada kita makna kerukunan beragama, bukan berarti mencampuradukkan ajaran aneka agama. Kerukunan antarumat beragama adalah setiap orang bisa hidup rukun bersama-sama dalam satu masyarakat. Namun, mereka tetap teguh pada keyakinan masing-masing dan menghormati keyakinan orang lain. Begitu semestinya tatanan dalam masyarakat yang heterogen