LAA TAI’AS
(JANGAN BERPUTUS ASA)
Ponpes
Ta’mirul Islam. 1 April 2018.
Pagi
yang indah Nak, sambil mengisi akhir pekan yang juga indah - karna bersamamu.
Bagi Ayah, liburan yang menyenangkan adalah berkumpul bersama keluarga, apalagi
melihat wajahmu yang ceria. Sepagi ini Ayah sengaja mengajakmu berziaroh
(mengunjungi) ‘tempat bersejarah’. Bukan tempat sejarah yang masuk dalam daftar
museum nasional maupun international, tapi paling tidak melalui tempat inilah,
sejarah kehidupanmu terbentuk. Berpilin ke langit melalui usaha, doa & amal baik. Lantas
diijabahi oleh Tuhan, dan menjadi asbabiyah kehidupan-kehidupan yang lain.
Melalui tempat ini, Ayah & Ibu menjalani takdir kehidupan dari Sang
Pencipta Alam, dari kota kelahiran kami yg terpisah lautan & ribuan kilometer
jarak - di tempat ini Ayah & Ibu dipertemukan.
Maka
sekelumit kisah akan Ayah ceritakan, sambil memandang santri yang berlalu
lalang beraktivitas di 'tempat penuh sejarah' yang kan selalu kami kenang.
Tempat penuh keajaiban.
*****
Adalah
puluhan tahun silam, seorang pemuda gagah nan tampan menuntut ilmu di sebuah
Pesantren di Jawa Timur. Bukan main tampan pemuda tersebut, pun juga gagah nan
memukau. Oh iya, dia pandai bermain bola. Kelihaiannya mengolah si kulit bundar
membuat orang seantero pesantren mengenalinya. Tak ayal dia sering mewakili tim
sepak bola pesantren, masuk skuat utama. Namanya di elu-elukan. "Nahar...
Nahar.... " begitu ia biasa dipanggil. Pergi bertanding, pulang membawa
kemenangan.
Di
samping pandai bermain bola, ia pun juga pintar. Dalam hal pelajaran ia
termasuk golongan murid yang rajin dan cerdas. Dan hey, bukan hanya itu saja.
Selain pandai di kelas maupun di lapangan, ia juga lihai memainkan alat musik.
Aduhai, lengkap sudah. Wajah tampan, pandai bermain bola, pintar pelajaran,
rajin, lihai bermusik. Perempuan mana yang tak jatuh hati bila mengenal pemuda
ini? Bahkan Guru-gurunya, teman-temannya, suka bergaul dengannya sebab
akhlaknya pun juga terpuji.
Tapi
Nak, adalah sisi lain pemuda ini juga tak dapat dipungkiri. Ia yatim-piatu
sejak kecil. Ayah-Ibunya meninggal saat usianya belum genap empat tahun. Bahkan
ia sendiri lupa bagaimana paras orang tuanya. Jangankan wajah, apalagi
merasakan dipeluk, dimanja. Hari-hari ia di Pesantren, termenung melamun
melihat santri lain dijenguk oleh orang tuanya, bercengkrama, bercerita. Ia
dekap seluruh kesedihan & kepedihan akan masa lalunya yang kelam tanpa
orang tua, menerima takdir Tuhan dengan penuh rasa syukur dan hati yang lapang.
Kau dengar cerita ini? Bahkan seluruh kesedihan itu ia jadikan pelecut semangat
untuk menjadi lebih baik. Tidak ada kata menyerah dalam kamus hidupnya. Sebab
salah satu firman Tuhan untuk manusia ialah "Janganlah kamu berputus asa
dalam meraih rahmat-Nya". Hal itu ia buktikan dalam kehidupan yang nyata.
*****
Namun
kisah ini masih jauh dari usai. Perjalanannya dalam menuntut ilmu dan
melaksanakan kewajiban, melewati jalan halang berlintang. Kali ini ujian
kenaikan kelas. Tapi bukan tentang ia yang tidak lulus, sama sekali bukan. Atau
ia yang enggan belajar, tentu bukan. Puncaknya yaitu suatu hari, di Pesantren
tempat ia belajar, tertangkaplah seorang pencuri. Pencurian termasuk salah satu
tindakan kriminal, bahkan terberat. Balasan setimpal untuk pencuri adalah
diusir dari Pesantren. Pemuda tadi tenang saja sebab bukan ia pencurinya.
Tapi
siapa sangka, Pencuri yang sudah tertangkap tadi mengaku “Saya tidak melakukan
ini sendiri, saya lakukan pencurian ini bersama Nahar”. Tak ayal berubahlah
kondisi 180 derajat. Guru-guru yang biasa memujinya, memanggil pemuda tadi
untuk menghadap. “Kamu telah bersekongkol dengan pencuri” sahut salah seorang
pengurus Pesantren. Pemuda tadi terkaget “Maaf, saya tidak tahu menahu soal
ini. Saya sama sekali tidak tau” ucapnya membela diri.
Malang
tak dapat dihindar, untung tak dapat diraih. Tidak ada bukti bagi dia untuk
membela diri. Maka hukuman pun dijatuhkan kepadanya yang tidak melakukan
kesalahan. Ia di skors selama satu bulan. Dilarang menginjakkan kaki di
Pesantren dan mengikuti kegiatan Pesantren dalam jangka waktu yang telah
ditentukan. Ia difitnah. Dan karena saat itu ada ujian kenaikan kelas, maka ia
pun juga tidak berhak mengikuti ujian kenaikan. Maka itu berarti vonis kedua
yang sudah pasti baginya, adalah tidak bisa naik kelas. Dengan tambahan sanksi
moral, yaitu seluruh popularitasnya hilang. Nama baiknya di hadapan orang-orang
menjadi kotor. Seluruh pujian dari orang yang kagum kepadanya memudar. Berganti
dengan cap dan tuduhan yang tersemat kepadanya sebagai seorang “pencuri”. Kehidupannya
melewati jalan terjal lagi.
*****
Ia
langkahkan kaki pergi dari pesantren menuju tempat pengasingan, dikembalikan ke
kampung halaman dalam jangka waktu yang ditentukan. Tidak mengikuti ujian
kenaikan, tertinggal dan mengulang di kelas yang sama tahun depan. Beragam fitnah
dan cemooh orang kepadanya sebagai pelaku criminal. Ditambah beban masa lalu
yang kelam, tanpa orang tua yang bisa diajak berbagi kesedihan. Tidak ada lagi
masa depan cerah, semua kelam. Namun lihatlah, Pemuda tadi tetap tegar. Segala
takdir yang diberikan oleh Tuhan, ia terima dengan hati yang lapang. “Semua
pasti ada hikmahnya” ucapnya dalam hati. Sekali lagi, tidak ada kata menyerah
dalam kamus hidupnya. Bahkan dalam kondisi sesulit apapun.
“Jangan
putus sebelum putus” prinsip hidup yang
teguh. Dijalaninya waktu pengasingan dengan ikhlas. Sampai habis masa skorsing
itu, kembalilah ia ke pesantren. Lantas menerima kenyataan bahwa ia masih
tinggal kelas. Tak mengapa, toh tujuan utama ia ke Pesantren adalah untuk
mencari ilmu, bukan mencari kelas. Toh bisa jadi ada beberapa materi yang belum
ia pahami. Ia terima ikhlas semua ini.
Lantas
dengan pemahaman yang baik dan hati yang lapang itulah, kesabarannya berbuah
hasil yang memuaskan. Bahwa setiap kejadian pasti ada hikmahnya. Hingga
akhirnya pencuri yang menuduhnya bersekongkol, tiba-tiba mengaku bahwa pemuda
tadi bukanlah seorang pencuri. Maka hilanglah citra buruknya di hadapan para
Guru, Pengurus Pesantren maupun teman-teman. Perlahan nama baiknya kembali, tak
lagi dikenal sebagai seorang pencuri. Bahkan ia dipercaya lebih untuk menjadi
bendahara Pesantren. Segala fitnah dan kejadian buruk yang menimpa berhasil ia
lalui. Berbuah manis, berakhir indah, bagi siapa saja yang menerima takdir
dengan ikhlas. “Bahwa di setiap kesusahan pasti ada kemudahan. Dan di setiap
kesusahan pasti akan ada kemudahan” Demikianlah janji Tuhan dalam
Al-Qur’an.
*****
Kehidupan
berlanjut setelah itu, Nak. Pemuda tadi lulus dari Pesantren. Kembali ke
kampung halaman. Waktu berlalu dan bertahun-tahun setelah kejadian itu, dengan
di dasari niat yang ikhlas dan hati yang tulus, ia dirikan sebuah Pondok
Pesantren. Inilah “tempat bersejarah” yang sekarang kita kunjungi. Sebuah tempat
yang dibangun atas sebuah prinsip “Jangan Putus Sebelum Putus”. Sebuah
tempat yang dibangun dengan cita-cita untuk memakmurkan Agama Islam. Sebuah
tempat penuh kenangan, canda tawa, bahagia, duka, romansa, dan banyak hal
lainnya.
Yang
hingga sekarang, Pemuda tadi lebih dikenal oleh orang-orang dengan panggilan
“Kyai Nahar” atau “Mbah Nahar”. Beliau menjadi salah satu ulama yang disegani
di daerah Solo, kota kelahirannya. Ia rangkul seluruh elemen umat Islam tanpa
memandang kelompok atau golongan. Jika ada kutipan yang mengatakan “puncak
kesaktian adalah tidak memusuhi dan tidak bisa dimusuhi”, maka beliau berada dalam
puncak kesaktian itu. Ia rangkul siapapun, dan dengan akhlak baik serta
cita-citanya yang mulia untuk memakmurkan Agama Islam, tidak ada alasan bagi
orang untuk memusuhinya.
Kehidupan
ini saling berkaitan, Nak. Jika pada saat itu beliau putus untuk menuntut ilmu,
maka kemungkinan besar tidak ada “tempat bersejarah” ini. Dan jika tempat ini
tidak ada, maka Ayah dan Ibu juga tidak akan bertemu. Itu juga berarti tidak
akan ada kamu. Ayah dan Ibu menimba ilmu di tempat ini, lantas kami bertemu,
hingga beberapa tahun kemudian kami menikah dan kamu lahir. Kami mengemban
cita-cita mulia untuk turut memakmurkan Agama Islam, maka semoga kelak suatu
saat, kamu bersama teman-temanmu, bersama saudara-saudaramu, menjadi generasi
yang juga mewarisi cita-cita nan mulia ini.
Catatan: Kisah ini ditulis ulang dari cerita
pengalaman Ust Naharussurur ketika dituduh mencuri saat masih nyantri.